skip to Main Content

Sustainability dalam Industri Kulit di UD Nogosari Leather, Lumajang

Industri kulit sering kali dikaitkan dengan tantangan keberlanjutan, namun UD Nogosari Leather dari Kabupaten Lumajang berhasil menerobos batas dengan mencapai sertifikasi dari Leather Working Group (LWG). Leather Working Group (LWG) adalah sebuah organisasi independent berasal dari Switzerland, yang didirikan pada tahun 2005 dengan tujuan untuk mempromosikan praktik-praktik terbaik dalam industri kulit yang berkelanjutan. Grup ini terdiri dari berbagai pemangku kepentingan, termasuk produsen kulit, merek-merek fesyen, dan organisasi non-pemerintah.

LWG mengembangkan standar dan protokol evaluasi untuk menilai keberlanjutan produksi kulit. Evaluasi ini mencakup berbagai aspek, seperti manajemen limbah, pengelolaan air, dan perlindungan lingkungan. Perusahaan yang mematuhi standar LWG dapat memperoleh sertifikasi yang menunjukkan komitmen mereka terhadap praktik-praktik berkelanjutan dalam industri kulit. Sehingga Sertifikasi LWG dapat memberikan kepercayaan kepada konsumen bahwa produk kulit berasal dari sumber yang berkelanjutan dan memenuhi standar tertentu dalam hal keberlanjutan lingkungan.

Banyak merek dan produsen terkemuka di industri kulit telah bergabung dengan Leather Working Group untuk memajukan praktik-praktik berkelanjutan dalam rantai pasokan kulit, dari Indonesia sudah ada 17 (tujuh belas) industri kulit yang telah mendapatkan sertifikasi dengan berbagai kategori. Artikel ini akan menelaah bagaimana proses Nogosari Leather menjalankan praktik berkelanjutan dan pengaruhnya untuk bisnis kulit kedepannya.

UD Nogosari Leather, Lumajang
UD Nogosari Leather terletak Kabupaten Lumajang adalah perusahaan keluarga yang berdiri sejak 1952, kemudian fokus bergerak di bidang kulit mentah sampai setengah jadi mulai dari kulit kambing, domba serta sapi di tahun 2010. Gahtan Thariq sebagai direktur UD Nogosari Leather, menuturkan bahwa usaha ini berawal dari maklon di Pasuruan, yang kemudian berkembang menjadi pelopor pedagang kulit pickled. Industri kulit setengah jadi mulai marak bermula dari banyaknya kulit mentah yang tidak laku di pasar, sehingga perlu ada proses lanjutan yaitu penggaraman agar kulit mentah tidak rusak. Sejak saat itu mulai muncul industri yang mengolah kulit menjadi setengah jadi. Kulit setengah jadi menghasilkan pickled dan wet blue. Pickled merupakan kulit setengah jadi dari kulit domba (kulit kecil) yang peruntukannya biasa untuk gloves atau sarung tangan dan wet blue adalah kulit setengah jadi yang berasal dari kulit sapi/lembu yang biasa digunakan untuk sepatu.

Industri gloves di Indonesia cukup berjalan dengan baik karena kualitas bahan baku (kulit domba dan kambing) di Indonesia memiliki kelebihan yang tidak dimiliki oleh kulit luar. Diantaranya tekstur yang halus, lemas, ketebalan yang suitable untuk sarung tangan. Fondasi pabrik gloves di Indonesia cukup kuat, seperti PT Adira Semesta Industri di Bandung dan PT ASA di Yogyakarta. Signifikansi perkembangannya juga dipengaruhi dari permintaan industri gloves yang cenderung minim reject sehingga industri ini terus berjalan. Profit yang dihasilkan dari industri gloves tidak sebesar industri lain seperti sepatu atau produk kulit lainnya, tetapi volume permintaan industri ini cukup besar dan pemanfaatan sumber daya manusia (padat karya) yang tinggi menjadikan industri ini bisa berdampak pada perputaran ekonomi yang sehat.

Berbanding terbalik untuk pabrik kulit sapi yang kebanyakan peruntukannya untuk sepatu. Potensi penduduk Indonesia sebagai peringkat empat populasi terbesar di dunia, serta pada data World Footwear Yearbook 2023, Indonesia menempati lima besar dunia dalam hal kuantitas produksi, konsumsi, dan eksport. Namun hal ini tidak lantas menjadikan Indonesia sebagai produsen kulit yang cukup bersaing di dunia, seperti pada negara lima besar lainnya, padahal potensi hewan ternak seperti sapi, domba, kambing, cukup besar.

Dilema Kampanye Produk Lokal tapi Kurangnya Pemanfaatan Rantai Pasok Lokal
Kemudahan impor kulit finish di Indonesia, menyebabkan mandeknya sebagian pabrik kulit di Indonesia. Penggalakan untuk produksi dan konsumsi IKM lokal tidak berbanding lurus dengan penggunaan rantai pasok lokal. Sebagai gambaran, Gahtan menjelaskan jaringan rantai pasok industri kulit Indonesia cukup panjang seperti pada pengolahan bahan kulit mentah, UD Nogosari Leather mendapatkan supply dari seluruh Indonesia. Kulit mentah tersebut masuk ke pabrik awal dengan didalamnya ada pengepul kecil, pengepul besar, orang bagian kimia, bagian penggaraman, bagian pengapuran, hingga proses finish, kemudian berakhir pada pabrik produk jadi. Pada rantai pasok ini industri pengolahan kulit memainkan peran penting dalam pemberdayaan masyarakat lokal. Kampanye penggalakan IKM lokal, tapi berujung pada penggunaan kulit finish dari luar menyebabkan terputusnya rantai pasok di dalam negeri. Banyak pihak yang akhirnya kehilangan perannya dan pabrik banyak yang tutup akibat dari orderan ke industri kulit lokal berkurang karena kebanyakan industri pengolahan (produk) lebih memilih kulit finish impor.

Hal ini tentunya bukan tanpa dasar, terkadang harga kulit finish impor cenderung lebih kompetitif dibanding dengan kulit lokal. Dari segi kualitas ada permainan dari masing-masing pihak (lokal dan impor). Industri sepatu cenderung memilih harga murah dari material impor dengan kualitas rendah, dibanding harga tinggi kualitas terbaik kulit lokal. Meskipun industri di Indonesia membuat dengan kualitas rendah dan harga yang bersaing, ada pengaruh faktor sosio-kultural seperti pada proses order dan pembayaran yang membuat kedua industri kurang bisa berkolaborasi dengan baik. Hal ini tentu menjadi tantangan bagi pelaku industri kulit dan barang jadi kulit di Indonesia serta pemerintah sebagai pengatur regulasi dan kebijakan.

Tantangan Industri Kulit di Indonesia
Selain terputusnya rantai pasok pada industri pengolahan kulit menjadi barang jadi kulit, tantangan industri kulit di Indonesia juga ada pada regulasi ekspor-impor, serta saat ini kulit sebagai barang konsumsi (makanan) juga menjadi tantangan tersendiri. Kurangnya situasi kompetitif antar industri kulit Indonesia dan industri impor menjadi hal yang timpang.

Kebijakan harga impor kulit mentah dianggap jadi salah satu masalah yang diterima industri kulit. Harga kulit mentah dalam Indonesia yang sudah cukup tinggi, begitu juga harga kulit mentah dari luar yang cukup tinggi karena pajaknya. Disisi lain, kulit finish, kulit split kering impor bisa masuk dengan mudah dengan harga yang kompetitif. Sehingga industri kulit Indonesia sulit untuk bersaing dalam hal kulit finish.

Industri makanan saat ini juga sangat berpengaruh untuk mencari profit margin tipis. Profit tersebut diambil dari cecek atau kerupuk kulit yang diambil dari bahan baku pembuatan kulit samak. Namun banyaknya bahan kerupuk kulit dari luar yang bisa masuk dengan mudah ke Indonesia dengan harga murah dan kualitas lebih baik, membuat negara sulit untuk berbisnis didalamnya.

Kebijakan ekspor kulit yang dipersulit karena harapan pemerintah dalam pengolahan dari hulu ke hilir bisa dilakukan di Indoesia menjadi kendala. Hal ini dikarenakan penyerapan material kulit sebagai rantai pasok utama masih sangat minim, selain itu perjanjian kinerja antar industri lokal (industri kulit, sepatu, produk kulit, dan lain-lain) ada tantangan tersendiri.

Disisi lain dari tantangan yang dihadapi, nilai investasi Pertumbuhan Industri Kulit & Produk dari Kulit Alas Kaki pada kuartal tiga di tahun 2023 menurut IndoAnalisis, untuk PMDN(Penanaman Modal Dalam Negeri) naik secara signifikan mencapai lebih dari 50% dari tahun sebelumnya hingga 1173,55 milliar rupiah serta investasi PMA(Penanaman Modal Asing) mencapai 574,25 juta US$. Seharusnya menjadi potensi yang bisa dimaksimalkan bagi industri kulit di Indonesia untuk memperkuat manajemen dan kemampuan bersaing di pasar lokal maupun global. Salah satu upayany yaitu dengan Leather Working Group (LWG)

Sertifikasi Leather Working Group Sebagai Langkah Menuju Keberlanjutan
Pada 23 Oktober 2023 Nogosari Leather telah berhasil mendapatkan sertifikat LWG pada rating Silver untuk kategori G - Raw hide/skin to pickled/pre-tanned material. Hal ini dianggap menjadi sebuah langkah signifikan dalam mendukung keberlanjutan dalam industri kulit. Sertifikasi ini menandakan komitmen perusahaan untuk mematuhi standar keberlanjutan tertinggi dalam manajemen limbah, penggunaan air, dan praktik lingkungan lainnya.

Cara ini bisa menjadi alternatif untuk mendapatkan perhatian dari buyer karena persaingan yang sangat tinggi. LWG menuntut rantai pasok paling bawah menggunakan pabrik yang telah diverifikasi dengan tingkat trekking yang jelas mulai dari asal pengambilan bahan baku sesuai dengan sistem di negara masing-masing serta ratting yang hendak dicapai (gold, bronze, atau silver). Untuk pengambilan bahan mentah dari bawah tidak harus bersertifikasi LWG tetapi harus ada kejelasan area, penilaian kesehatan yang sesuai, proses pengolahan limbah, keselamatan kerja, dan lain-lain. Selain hal yang berkaitan dengan bahan baku, industri yang bersertifikasi LWG dituntut untuk sosial audit dalam ruang kerja karyawan dan kegiatan sosial lingkungannya. Hal ini dilakukan Nogosari Leather karena adanya permintaan buyer yang memilki requirement terkait LWG, jika tidak mencapai tersebut maka rantai pasok tidak akan berjalan.

Dengan adanya sertifikasi LWG meyakinkan kepada khalayak bahwa perusahaan ini trusted dengan manajerial yang lebih kredibel sehingga membuka kerjasama lebih luas lagi. Selain dari sistem manajerialnya, komunitas atau perusahaan yang tergabung pada LWG mendapat privilege koneksi terutama untuk pabrik yang berhubungan dengan pabrik luar negeri.

Secara holistik LWG mengusahakan dalam ekosistem closed-loop-cycle untuk menjaga sustainability pada rantai pasoknya. Nogosari Leather telah menunjukkan komitmen untuk menggunakan kulit yang berasal dari berbagai supplier yang dikelola secara berkelanjutan, mengusahakan bahan baku berkualitas dari dalam negeri, dan membuka peluang jejaring dengan berbagai lini bisnis yang berkaitan. Perjalanan mereka menuju keberlanjutan dan bagaimana perusahaan ini menjadi contoh nyata bahwa etika dapat bersatu dalam dunia kulit yang berkelanjutan.

Rahasih Lupita Maheswari

Outsole alas kaki menggunakan motif batik parang
Sumber : Instagram Bro.do

Desain sepatu menggunakan motif batik larangan
(Sumber: Dokumentasi BPIPI)

Beberapa kegiatan menunjukkan ketertarikan masyarakat terhadap motif batik larangan yang diaplikasikan pada alas kaki masih cukup tinggi. Seperti pada beberapa kompetisi yang dilakukan oleh beberapa instansi masih menunjukkan motif tersebut karena unsur keindahan dan banyak yang belum benar-benar memahami makna dibaliknya sehingga masih melakukan kesalahan yang berulang. Pada akhirnya ketika sebuah desain yang tidak memperhatikan etika budaya dampaknya adalah reaksi pasar terhadap produk, dari turunnya respek pasar terhadap merek hingga mempengaruhi penjualan mereka.

Etika dalam Estetika Batik
Motif batik yang indah tetap dapat diterapkan pada desain alas kaki. Meskipun tidak ada hukum tertulis yang akan menyalahkan seseorang dalam menggunakan motif batik larangan pada alas kaki, hendaknya kita lebih berhati-hati. Ada banyak motif batik lain yang dapat diterapkan pada desain alas kaki, seperti batik pesisir dan batik kreasi. Bahkan dengan menerapkan motif batik kreasi sendiri dapat menjadi identitas yang kuat pada desain alas kaki yang dibuat. Berikut contoh desain alas kaki dari IKM alas kaki asal Bandung dengan merek Brundi, yang menerapkan batik kreasi mereka pada desain sepatu mereka dan diproses dengan cara digrafir. Dari desain mereka ada juga beberapa motif batik yang terisnpirasi dari motif batik yang sudah ada sebelumnya.

Penerapan Motif Batik kontemporer dengan cara digrafir pada kulit
(Dokumentasi oleh Brundi)

Ki Hajar Dewantoro mengajarkan konsep kreatif dalam berinovasi yang bisa dilakukan adalah “niteni, nirokke, nambahi” atau saat ini lebih dikenal proses ATM (amati, tiru, modifikasi). Dari mengamati sekitar atau motif batik yang sudah ada sebelumnya, kita bisa mempelajari komposisi, bentuk serta warna yang digunakan. Setelah memahaminya, kita bisa terinspirasi dan meniru bentuk tersebut dengan menambahkan ide dan kreasi kita (modifikasi) menjadi sebuah motif baru yang indah.

Sepatu motif batik kontemporer stilasi dari motif batik kawung
(dokumentasi oleh Eko Bawono)

Penerapan motif batik kontemporer yang di sablon pada Sepatu Kulit
(Dokumentasi Shoekashoes)

Menurut peneliti dari Balai Besar Kerajinan dan Batik, Edi Eskak dan Heru Budi Susanto, menjelaskan ada beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk menerapkan estetika batik yang lebih beretika, antara lain

  1. Menerapkan motif yang tidak melanggar norma hukum, karena ada beberapa motif batik kreasi yang telah didaftarkan pada HKI sehingga dalam penggunaannya memerlukan izin dari pemilik HKI motif batik tersebut. Contohnya motif batik yang sudah dilindungi hukum adalah motif batik dari daerah Lasem, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Beberapa motif batik Lasem telah memiliki HKI, di antaranya: Motif Latoh, Sekar Jagad Lasem, dan Watu Pecah Kricak
  2. Menggunakan batik profan yaitu motif batik dengan makna netral, tidak sakral dan tidak bersinggungan dengan SARA, contohnya motif batik yang terinspirasi dari alam.
  3. Melakukan stilasi atau penggayaan dari motif batik yang sudah ada. Stilasi ini juga bisa terinspirasi dari batik larangan dengan merubah dan mengkreasikan sehingga berbeda dari motif batik larangan, hal ini diperbolehkan.
  4. Menghindari menggunakan motif batik larangan untuk desain alas kaki.

Estetika dengan memahami etika tentu akan lebih memunculkan nilai dan makna baru untuk desain alas kaki atau produk yang dibuat. Memunculkan keindahan, melestarikan kebudayaan, dengan unggah ungguh tanpa harus mendegradasikan makna budaya itu sendiri.

Oleh Rahasih Lupita Maheswari (diolah dari berbagai sumber)

 

Artikel ini dimuat di majalah Gema edisi 82

id_IDID