Kompetisi Indonesia Footwear Creative Competition (IFCC) 2024 kembali menghadirkan talenta-talenta kreatif terbaik di bidang fotografi,…
Serial Artikel Organisasi Layanan Publik#1
Difusi Inovasi: Sejarah dan Definisi
Adopsi inovasi, telah banyak menarik perhatian para peneliti. Sejumlah studi inovasi banyak berfokus pada adopsi inovasi yang tidak hanya dilakukan di negara maju tetapi juga negara berkembang. Menurut Ahmer Z. (2013), berbagai model untuk menangani adopsi inovasi paling banyak dimiliki telah diturunkan dari empat teori: innovation diffusion theory yang diperkenalkan oleh Rogers, Feishbein’s theory reasoned action dan Theory of planned behavior. Teori di atas tidak hanya berfokus pada level individu melainkan pada level organisasi.
Berdasarkan teori difusi inovasi klasik yang ditulis oleh Rogers dalam bukunya Diffusion of Innovation (2003), bahwasanya proses pengambilan keputusan harus berdasarkan pada pengetahuan tentang inovasi itu sendiri. Kedua, melakukan pengamatan yang matang dan persuasif dan ketiga, melalui tahapan perencanaan dan implementasi (Rogers, 2003). Pada tahap pengetahuan, konsumen dihadapkan pada adanya inovasi, dan memperoleh pemahaman tentang bagimana fungsinya bisa memberikan nilai tambah pada produk dan layanan organisasi. Dalam tahap pengamatan secara persuasif, konsumen membentuk sikap terhadap inovasi yang telah dihasilkan, baik yang menguntungkan maupun yang tidak menguntungkan.
Tahapan pengamatan secara persuasi dalam model inovasi difusi sangat penting dalam pembentukan sikap positif terhadap adopsi inovasi. Teori Roger mencakup manfaat, hambatan, dan faktor lain, yang memengaruhi adopsi. Roger mengaitkan keputusan adopsi dengan mengikuti atribut terkait inovasi; keunggulan relatif, kompleksitas, kompatibilitas, kemampuan uji coba, kemampuan observasi.
Dari konsep difusi inovasi di atas, terdapat beberapa hal penting yang dapat disimpulkan yaitu proses sebuah difusi dalam organisasi setidaknya meliputi tiga hal yakni, (1) pengetahuan atas inovasi itu sendiri, (2) kemampuan melakukan pengamatan persuasif yang mendalam, (3) kemempauan menambahkan nilai pada tambah pada produk dan layanan organisasi. Ketiga hal tersebut harus direncanakan secara baik suatu organisasi, karena keputusan untuk melakukan inovasi tergantung pada atribut keunggulan relative, kompleksitas, kompabilitas, kemampuan uji coba dan kemampuan observasi.
Dalam perjalanan penelitiannya, Everett M. Rogers pada tahun 1950-an banyak meneliti tentang teknik pertanian modern di Amerika sebagai tuntutan semakin meningkatnya kebutuhan produk pertanian modern. Teknik pertanian tradisional mulai ditinggalkan beralih ke teknologi baru yang lebih efektif dan efisien. Dalam bukunya Diffution of Innovation tahun 1953, Everett M. Rogers banyak menggali tentang difusi sebagai salah bentuk atau proses komunikasi yang berkaitan dengan hal-hal baru. Menurut Rosyiana (2019) dalam Rogers (1961) difusi terkait dengan “which is the spread of a new idea from its source of invention or creation to its ultimate users or adopters.”. Berikutnya muncul beberapa tokoh yang menulis tentang inovasi antara lain F. Floyd Shoemaker dan Rogers dengan bukunya yang berjudul Coomunication of Innovation: A Cross Cultural Approach (1971) hingga Lawrance A. Brown dengan judul buku Innovation Diffusion : A New Perspektive (1981).
Masih terkait dengan sejarah inovasi, teori difusi inovasi mulai berkembang pesat dan memiliki relevansi yang kuat dalam proses pengambilan keputusan inovasi suatu organisasi (Rosyiana, 2019). Dalam penelitiannya Rogers (1995), mengembangkan teori difusi inovasi yang menggambarkan variabel apa saja yang berpengaruh pada tingkat adopsi inovasi antara lain; perceived attribute of innovation, type of innovation decission, cummunication channel, nature of social system dan change agents.
This Post Has 0 Comments