Masih membahas tentang bagaimana strategi scale up bisnis di era disrupsi menjadi tantangan bagi IKM…
Meningkatkan Investasi-Sinergi, Mengatasi Dilema Penyamak
Selama beberapa tahun terakhir, para pelaku industri penyamakan kulit Tanah Air dibayangi dilema untuk tetap bertahan. Mereka dihadapkan pada dua persoalan, yaitu sulitnya memperoleh bahan baku lokal sekaligus mengimpor bahan baku.
Berdasarkan data Kementerian Perindustrian (Kemenperin), kebutuhan industri kulit nasional pada 2018 mencapai 115,84 juta square feet atau 10,76 juta meter persegi. Dari jumlah itu, produksi kulit di dalam negeri hanya sebesar 5,1 juta meter persegi.
Hasil produksi sebanyak 548.127 meter persegi digunakan untuk ekspor. Demi memenuhi kebutuhan industri kulit nasional, industri perlu mengimpor kulit hingga 6,2 juta meter persegi.
Vice Secretary General Asosiasi Penyamak Kulit Indonesia (APKI) Arifin Kustiawan menuturkan, kurangnya pasokan membuat industri penyamakan kulit harus bersaing dengan industri makanan agar memperoleh bahan baku. Dalam tiga tahun terakhir, persaingan sengit terjadi antara industri penyamakan kulit dengan pelaku industri kerupuk kulit dan krecek.
”Memang belum ada data valid. Namun, keadaan ini merupakan persaingan yang sangat kental bagi kami. Ketika ingin membeli, kulit sudah habis dibeli oleh pelaku industri makanan,” tutur Arifin.
Sebelumnya, pelaku industri penyamakan kulit dan industri makanan tidak berebut pasokan kulit dari pengepul. Industri makanan biasanya mengambil kulit bagian bawah sapi atau split, sementara industri penyamakan kulit mengambil bagian atas.
Namun, belakangan industri makanan mulai mengambil keseluruhan bagian kulit. ”Kami sangat berharap ada perlindungan dalam bentuk konsesi atau regulasi untuk industri penyamakan,” kata Arifin.
Data APKI menunjukkan, jumlah pabrik penyamak kulit (besar dan menengah) mencapai 112 pabrik pada periode 1986-1998 dan turun menjadi 42 pabrik pada 2017-2018. Produksi kulit pun menurun dari 210 juta feet atau 64 juta meter per tahun pada 1986-1998 menjadi 33,52 juta meter per tahun pada 2017-2018.
Dalam sebuah industri terdapat sektor hulu, sektor tengah, dan sektor hilir. Industri kulit terdiri dari sektor hulu yang menghasilkan bahan baku kulit mentah, sektor tengah yang menyamak kulit mentah, serta sektor hilir yang mengolah kulit yang telah disamak menjadi produk akhir dengan nilai tambah, seperti sepatu, jaket, dan dompet.
Sektor tengah, yakni industri penyamakan kulit, berperan penting sebagai penyedia bahan baku utama untuk sektor hilir. Industri penyamakan kulit mengubah kulit mentah menjadi bahan setengah jadi dengan nilai tambah.
Keterbatasan pasokan membuat pelaku industri penyamakan dihadapkan pada kenyataan mereka harus mengimpor bahan baku. Meski kebutuhan besar, impor bahan baku kulit ternyata bukan tanpa kendala. Arifin mengatakan, hanya negara yang telah mendeklarasikan ternaknya bebas penyakit mulut dan kulit (PMK) yang bisa melakukan ekspor ke Indonesia.
Tak hanya itu, kulit yang telah tiba harus melalui proses karantina yang memperlambat waktu produksi. Menurut dia, proses karantina memakan lebih kurang dua bulan sebelum dapat digunakan.
Para penyamak kulit juga harus berurusan dengan harga impor bahan baku kulit dari negara bebas PMK yang lebih tinggi dari negara lain. Dengan harga seperti itu dan biaya produksi dalam negeri yang sudah tinggi, alhasil harga kulit hasil penyamakan dalam negeri pun tidak kompetitif.
Kebijakan impor
Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil Kementerian Perindustrian Achmad Sigit Dwiwahjono mengatakan, impor bahan baku kulit tidak bisa dihindari. Produksi lokal bahan baku kulit jenis tertentu juga belum optimal, seperti kulit dari ternak kambing dan biri-biri.
Untuk itu, pemerintah sedang memperbaiki tata niaga impor bersama dengan instansi terkait. Kemenperin juga akan mempermudah impor bahan baku kulit mentah.
Namun, upaya ini terkendala peraturan Kementerian Pertanian yang mewajibkan impor harus berasal dari negara yang bebas PMK. ”Kami terus berusaha menyinergikan kebijakan itu bersama Kementan,” kata Sigit.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati saat dihubungi berpendapat, impor sebaiknya hanya menjadi solusi sementara guna memenuhi kebutuhan industri tengah dan hilir.
Selain itu, impor harus dilakukan secara terkontrol guna menjaga daya saing bahan baku dalam negeri. ”Upaya untuk menyeimbangkan penyerapan bahan baku lokal dan impor dapat melalui pemberian bea masuk untuk kulit impor sehingga pelaku industri dapat memilih bahan baku lokal atau impor,” ujarnya.
Investasi dan sinergi
Enny melanjutkan, pemerintah pada saat yang bersama perlu meningkatkan investasi dan insentif di industri peternakan guna mendorong produktivitas. Pendekatan ini dapat membantu perbaikan suplai bahan baku di sektor tengah industri kulit.
Tujuan peningkatan investasi tidak dapat hanya berorientasi untuk meningkatkan jumlah dana yang masuk. Namun, fokus perlu dialihkan untuk memilih jenis investasi yang dapat memberikan nilai tambah pada produk industri lokal.
Pemerintah pada saat yang bersama perlu meningkatkan investasi dan insentif di industri peternakan guna mendorong produktivitas. Pendekatan ini dapat membantu perbaikan suplai bahan baku di sektor tengah industri kulit.
Mengutip data Balai Pengembangan Industri Persepatuan Indonesia (BPIPI), investasi pada industri kulit, barang dari kulit, dan alas kaki tumbuh signifikan empat tahun belakangan. Pada 2018, investasi penanaman modal dalam negeri (PMDN) mencapai Rp 282 miliar dibandingkan sebesar Rp 5,4 miliar pada 2015.
Investasi penanaman modal asing (PMA) pada industri kulit, barang dari kulit, dan alas kaki bergerak lebih fluktuatif. Besaran investasi PMA selama 2015-2017 adalah 161,6 juta dollar AS, 144,4 juta dollar AS, dan 368,9 juta dollar AS. Pada 2018, PMA sebesar 243,65 juta dollar AS atau setara Rp 3,44 triliun.
Enny menambahkan, selain investasi, sinergi semua pihak terkait penting untuk menjaga rantai pasokan bahan baku dari peternak kepada penyamak kulit. Kuantitas dan kualitas kulit dari peternak rakyat kerap bermasalah karena mereka minim pengetahuan untuk merawat kulit mentah.
”Perlu koordinasi lintas sektoral antara lain pemerintah daerah, dinas peternakan setempat, dan usaha mikro, kecil, menengah (UMKM). Koordinasi diperlukan untuk memberi pendampingan pada peternak rakyat sehingga hasil peternakan memenuhi standar industri,” ujarnya.
Kolaborasi antara penyamak kulit dan kelompok-kelompok peternak juga perlu diperbaiki dan ditingkatkan.
Kepala BPIPI Heru Budi Susanto menyampaikan, kolaborasi antara penyamak kulit dan kelompok-kelompok peternak juga perlu diperbaiki dan ditingkatkan. Peternak dapat diminta untuk menjual kulit dengan bentuk yang masih baik kepada para penyamak kulit. Adapun kulit dengan bentuk yang tidak mulus dapat disalurkan ke industri makanan.
This Post Has 0 Comments